PENDEKATAN
KONSEPTUAL DALAM PROSES PERANCANGAN INTERIOR
ABSTRAK
Proses perancangan interior bertujuan untuk memecahkan masalah yang
kompleks berkaitan dengan respon manusia terhadap ruang. Untuk dapat memecahkan
masalah secara utuh maka diperlukan sebuah konsep perancangan yang tepat.
Keberhasilan konsep perancangan tergantung pada pendekatan yang dilakukan dalam
proses penyusunannya.
Pendekatan konseptual dapat dibangun dengan cara memahami beberapa
hal, meliputi: komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan
pola pikir desain, metode pendekatan desain, dan diakhiri dengan perumusan
konsep desain. Dengan memahami hal-hal tersebut maka sebuah permasalahan desain
yang kompleks dapat disederhanakan ke dalam klasifikasi yang jelas dan
sistematis, sehingga proses penyusunan konsep perancangan yang tepat dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Konsep yang tepat pada akhirnya akan mampu
mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.
Kata kunci: pendekatan, konseptual, perancangan, interior
LATAR BELAKANG
Desain interior pada prinsipnya merupakan upaya
memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian dalam dari
sebuah bangunan. Masalah yang harus dipecahkan dalam desain interior berkaitan
dengan masalah fisik dan non fisik. Masalah fisik berkaitan dengan kondisi
ruang yang terdiri atas unsur lantai, dinding, plafon, perabot, utilitas
seperti jendela untuk memasukan cahaya alam, ventilasi untuk mengalirkan udara
alami, pintu untuk mengakses hubungan antar-ruang, mekanikal dan elektrikal
seperti saluran perlistrikan dan pemipaan. Masalah non fisik berkaitan dengan
faktor manusia seperti kondisi psikologis, sosial dan budaya yang membentuk
persepsi-persepsi dan perasaan terhadap suasana ruang tertentu[1].
Permasalahan yang kompleks tersebut perlu diperhitungkan
dalam upaya mewujudkan sebuah desain interior yang memberikan penyelesaian
masalah secara integral. Dengan menggunakan metolodogi desain yang sistematis (systematic design method)[2]
maka upaya pemecahan permasalahan pertama dapat dilakukan dengan
mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan cara mendata secara lengkap untuk
kemudian diuraikan satu persatu secara runtut dalam bentuk analisis masalah.
Setelah itu akan ditemukan titik-titik permasalahan yang menjadi bahan untuk
menetapkan rumusan permasalahan. Dari rumusan permasalahan maka akan
dimunculkan program kebutuhan perancangan berupa daftar yang berisi hal-hal
yang harus dipenuhi dalam perancangan. Setelah program kebutuhan perancangan
ditemukan maka proses pencarian ide-ide desain pun dimulai. Proses penggalian
ide-ide awal ini disampaikan dalam bentuk gambar-gambar skematik atau sering
disebut sebagai skematik desain. Dalam proses pengembangan skematik desain
itulah sering terjadi kesulitan karena alternatif-alternatif pengembangan
desain dapat simpang siur antara satu alternatif terhadap alternatif yang lain.
Oleh karena itu ketika proses skematik desain berlangsung maka desainer harus
mulai merumuskan apa yang disebut sebagai konsep desain.
Keberadaan sebuah konsep desain dalam perancangan
interior sangatlah penting. Dengan adanya konsep maka seluruh permasalahan yang
akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam satu perumusan yang
bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam
tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata
yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan demikian maka diharapkan
konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang
terintegrasi secara utuh.
Tulisan ini
bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pendekatan-pendekatan yang dapat
dilakukan dalam proses perancangan desain interior yang menggunakan metodologi
transparan agar permasalahan yang kompleks dapat diuraikan secara sistematis,
dan formulasi pemecahan masalah berupa konsep perancangan dapat disusun untuk
mengikat hasil rancangan menjadi satu solusi yang integral.
KOMPONEN PEMAHAMAN
DESAIN
Hal pertama yang perlu
dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan
interior adalah memahami tentang hakekat desain yang secara umum dapat dibagi
ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) desain sebagai perwujudan nilai simbolik
dan budaya, (2) desain sebagai pemecahan masalah teknis, dan (3) desain sebagai perwujudan nilai ekonomis. Tiga komponen
ini merupakan pengembangan dari pandangan Hillier, Musgrove dan O’Sulivan
(1972) yang dirangkum oleh Mark I. Aditjipto (2002) tentang fungsi lingkungan
buatan.
Sebagai perwujudan nilai simbolik
dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup,
kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Disini desain merupakan sarana untuk
menginterpretasikan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan
lain-lain ke dalam wujud materi yaitu benda konkrit yang berfungsi untuk
mengungkapkan sesuatu nilai budaya tertentu. Dengan demikian maka desain
dikonsentrasikan pada olah bentuk, komposisi dan kombinasi dari bahan,
proporsi, tekstur, warna, dan unsur-unsur detail lainnya. Jadi, dalam konteks
ini desain dipahami sebagai seni. Untuk mampu memahami desain sebagai
perwujudan nilai simbolik dan budaya maka diperlukan suatu pengalaman mental
tertentu. Jadi seseorang perlu masuk ke
dalam konteks pemahaman budaya tertentu baik secara alami (dengan sendirinya)
maupun disengaja (dengan mempelajari). Komponen pertama ini banyak ditemukan
pada masyarakat tradisional atau etnik, dimana benda-benda di sekitar
lingkungan kehidupan mereka didesain berdasarkan keterkaitannya dengan
nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Anggota
masyarakat tradisional secara otomatis akan memiliki pengalaman mental melalui
kehidupan sehari-hari mereka sehingga untuk memahami nilai-nilai simbolik pada
desain benda-benda di sekitar mereka, mereka akan mudah melakukannya. Orang
yang bukan anggota masyarakat tradisional tertentu perlu belajar untuk mampu
menyusun pengalaman mental tersebut. Dalam kehidupan masyarakat modern, nilai
simbolik dan budaya banyak ditemukan pada desain-desain ruang budaya (cultural space) seperti bangunan
religius, museum, city hall,
perpustakaan, dan lain-lain. Nilai-nilai simbolik yang ada pada desain-desain
tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi atas peradaban (civilization) sebuah masyarakat modern.
Sebagai pemecahan masalah teknis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsional. Disini desain merupakan
sarana untuk memenuhi kebutuhan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini muncul sejak adanya
revolusi teknik pada era revolusi industri. Desain bukan lagi dipandang sebagai seni melainkan lebih kepada ilmu
teknik (engineering). Desain
dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah dengan pendekatan-pendekatan empirik
untuk memberikan pemecahan masalah (problem
solving) secara objektif dan hasil temuannya dapat digeneralisasikan. Hasil
atau wujud konkrit dari pemahaman desain sebagai pemecahan masalah teknis
adalah desain-desain modern yang mengutamakan fungsi teknis, oleh karenanya
desain menjadi bersifat mekanis dan rakitan. Hal ini dapat dilihat contohnya
seperti penggunaan bahan-bahan industrial yang standar, homogen dan dapat
dirakit secara cepat dan mudah serta hasilnya kuat atau optimum secara teknis.
Wujud yang tercipta biasanya bentuk-bentuk standar yaitu geometris, menggunakan
bahan, konstruksi, tekstur, pewarnaan dan finishing secara lugas dan produknya
homogen.
Sebagai perwujudan nilai ekonomis
maka desain dapat dikaitkan dengan faktor investasi atau komoditas. Disini
desain merupakan solusi untuk memberikan keuntungan ekonomis dalam kaitannya
dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sama halnya dengan pemahaman yang
kedua di atas, pemahaman desain sebagai perwujudan nilai ekonomis muncul sejak
adanya revolusi dibidang ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi di era revolusi
industri. Hal ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya
konsumsi masa yang melahirkan gaya hidup modern (modern life style). Gaya hidup modern itu sendiri didasari oleh
suatu nilai baru yaitu pencitraan (image
projection). Pencitraan diciptakan untuk mendukung keberlangsungan budaya
konsumsi masa. Dari pencitraan inilah muncul apa yang disebut sebagai trend. Trend dalam dunia desain dapat diartikan sebagai kecenderungan
dalam mengikuti dan menggunakan model desain tertentu dalam kurun waktu yang
sementara. Trend ini selalu
diciptakan dan disurutkan supaya orang terus melakukan konsumsi atas model
desain yang terbaru. Oleh karena itu desain sebagai perwujudan nilai ekonomis
dapat dipahami melalui pencitraan. Pencitraan ini selalu dikaitkan dengan
produk konsumsi, yang dalam dunia desain interior hal ini berkaitan dengan
ruang-ruang komersial (commercial space)
seperti perwujudan citra merek dagang (brand
image) pada penataan interior outlet
pertokoan, waralaba (frenchise), dan
sebagainya.
SKEMA PERANCANGAN
METODE ANALITIS
Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk merumuskan
pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang
skema perancangan atau pentahapan-pentahapan dalam perancangan. Karena perancangan
interior pada umumnya memiliki kompleksitas permasalahan yang relatif tinggi,
maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode analitis (analitical method). Hal ini mengacu pada
metodologi desain (Jones, 1971) sebagai formulasi dari apa yang dinamakan
“berpikir sebelum menggambar” (“thinking
before drawing”)[3].
Metode ini merupakan metode dasar yang didalamnya dapat
dipilah lagi dalam metode-metode pendekatan yang lebih spesifik yang akan
diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Dalam metode analitis ini hasil
rancangan akan sangat dipengaruhi oleh proses yang dilakukan sebelumnya. Proses
tersebut meliputi penetapan masalah, pendataan lapangan, literature, tipologi,
analisis pemrograman, sintesis, skematik desain, penyusunan konsep dan pewujudan
desain.
Untuk memunculkan sebuah kebutuhan perancangan maka hal
pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan permasalahan[4].
Permasalahan disini akan selalu dikaitkan dengan faktor manusia sebagai
penggunanya, yang menghadapi kendala-kendala dalam merespon keberadaan suatu
ruang tertentu, baik itu disadari maupun tidak. Untuk kendala yang dapat
diasadari oleh penggunanya, maka pengguna itu sendiri yang menetapkan
permasalahan; sedangkan untuk kendala yang tidak disadari maka desainer sebagai
orang yang menguasai teori dan aplikasi perancangan akan dapat memiliki
kepekaan untuk menemukan kendala-kendala tersebut[5].
Langkah selanjutnya adalah melakukan pendataan.
Pendataan dapat dilakukan setidaknya dari lapangan, yaitu kondisi objek yang
akan dirancang meliputi data fisik (
unsur pembentuk dan pengisi ruang, ukuran-ukuran, material, kondisi udara,
suara, cahaya dan lain-lain) dan data non fisik (lingkungan sosial, ekonomi,
budaya, psikologis dan lain-lain). Data lainnya adalah data literatur. Data
literatur sangat penting untuk dijadikan tolok ukur perancangan. Data literatur
disusun berdasarkan tingkat kebutuhannya untuk menilai hasil pendataan fisik
dan non fisik. Data literatur dapat disusun secara tekstual maupun tidak.
Apabila literatur-literatur itu bersifat umum dan formalistik maka tidak perlu
dicantumkan dalam pendataan, karena mudah dimengerti secara umum. Literatur
yang spesifik yang berkaitan dengan permasalahan utama perancangan penting
untuk dicantumkan secara mendetail dalam proses pendataan. Jenis data ketiga
adalah data tipologi, yaitu berupa data lapangan yang diambil dari lokasi
berbeda namun memiliki tipe yang sama dengan data lapangan yang menjadi objek
perancangan. Data tipologi ini berfungsi sebagai pembanding atas data lapangan.
Disamping itu data tipologi juga dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk
membantu kasus-kasus perancangan yang sulit dicari literaturnya.
Setelah data terkumpul lengkap maka langkah selanjutnya
adalah melakukan analisis. Tahap ini merupakan tahap pemrograman, yaitu membuat
program-program kebutuhan desain berdasarkan hasil-hasil analisis. Semakin data
yang dihimpun lengkap maka hasil analisis pun dapat semakin tuntas sehingga
program-program kebutuhan yang dimunculkan akan dapat menjadi acuan yang dapat
dipenuhi.
Hasil analisis program merupakan dasar dalam menarik
sintesis berupa simpulan-simpulan awal yang dapat dijadikan
alternatif-alternatif arah perancangan. Dari sinilah proses perancangan dapat
dipecah menjadi dua jalur yaitu membuat skema-skema pemecahan masalah
perancangan atau skematik desain dan disisi lain mulai memformulasikan konsep
desain yang dijadikan pengikat arah perancangan. Skematik desain dan konsep
dasar desain ini dapat dievaluasi sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi
sebuah produk desain berupa gambar-gambar penyajian. Produk desain ini juga
perlu dievaluasi berdasarkan program-program yang ditetapkan dalam analisis
pemrograman melalui sebuah proses umpan balik (feed back).[6]
PEMETAAN POLA PIKIR
DESAIN
Pembahasan langkah kedua tentang skema perancangan
merupakan pembahasan dari sisi objek perancangan. Oleh karena itu, langkah
ketiga yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses
perancangan interior adalah memahami tentang pemetaan pola pikir desain, yaitu
posisi desainer dalam kaitannya dengan cara berpikir terhadap objek yang
dirancang[7].
Untuk memposisikan diri sebagai desainer maka seseorang setidaknya memiliki
tiga materi yaitu tapak (site),
program dan ide[8].
Apabila seseorang hanya memiliki tapak dan program maka
ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang perakit. Pekerjaan ini lebih mudah
karena ia hanya dituntut untuk menghasilkan rakitan dari olah tapak dengan
mengacu pada program-program yang ditetapkan untuk mengolah tapak tersebut.
Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang fungsional. Sebagai sebuah rakitan
maka desain ini memiliki ciri-ciri kompak, standar objektif, dan homogen.
Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki tapak dan ide maka ia akan
memposisikan dirinya sebagai seorang seniman. Pekerjaan ini lebih bebas karena
ia dapat mengolah tapak dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya batasan-batasan
dari program yang telah ditetapkan. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang
ekspresif. Sebagai sebuah hasil ekspresi seni maka desain ini memiliki
ciri-ciri bebas, tidak standar, subjektif, dan khas atau unik. Selanjutnya
apabila seseorang hanya memiliki program dan ide maka ia akan memposisikan
dirinya sebagai seorang pemimpi. Pekerjaan ini lebih idealis karena ia dapat
mengolah program yang telah ditetapkan dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya
tapak yang membatasi ide-ide tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain
yang eksperimental bahkan terkadang utopis sehingga hanya ada di dalam
angan-angan saja dan belum tentu dapat diwujudkan secara nyata. Sebagai sebuah
hasil pemikiran ideal yang eksperimental maka desain ini memiliki ciri-ciri
sempurna, imajiner, ideologis, dan bahkan absurd.
Dengan posisi desainer yang memiliki ketiga materi yaitu
tapak, program dan ide berarti seorang desainer hendaknya mampu menjembatani
tiga macam posisi yaitu sebagai perakit, seniman dan pemimpi menjadi satu
kesatuan yang saling bersinergi antara satu dengan yang lain. Jadi hasil kerja
desainer berupa desain yang fungsional tetapi tetap memperhatikan ekspresi dan
juga mengandung eksperimen-eksperimen untuk membuka peluang bagi pengembangan
lebih lanjut. Dengan demikian maka karya seorang desainer bukan karya yang
statis melainkan dinamis, bukan karya yang subjektif sepenuhnya melainkan tetap
bisa dipertanggungjawabkan objektifitasnya, bukan karya yang mengawang-awang
melainkan realistis dan dapat diwujudkan.
METODE PENDEKATAN
DESAIN
Langkah keempat yang perlu dilakukan untuk merumuskan
pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang
metode pendekatan desain. Ada banyak metode-metode pendekatan desain yang dapat
dipakai dalam proses perancangan interior, meliputi metode pendekatan
pragmatis, tipologis, analogis, sintaktis, programatik, ideologis, dan
substansif. Metode-metode pendekatan tersebut diperlukan untuk mewujudkan
ide-ide atau gagasan yang tertuang dalam konsep menjadi sebuah desain. Jadi
metode-metode pendekatan tersebut bukan merupakan konsep itu sendiri melainkan
merupakan “katalisator” konsep.
Uraian macam-macam metode pendekatan desain ini
merupakan pengembangan dari metode-metode yang dikemukakan oleh Broadbent
(1973) dalam Aditjipto (2002). Melalui metode pendekatan pragmatis maka olah
desain dilakukan melalui proses uji coba. Hasil desain bersifat eksploratif dan
ketepatan pemecahan masalah akan diketahui setelah melalui proses evaluasi
berkala. Apabila hasil desain tidak mampu memecahkan masalah secara tepat maka
akan dicoba lagi dengan alternatif pengolahan yang lain, demikian seterusnya
hingga sampai pada batas tertentu hasil olah desain dianggap optimal.
Melalui metode pendekatan tipologis maka olah desain dilakukan dengan cara
mencontoh model yang pernah dilakukan orang lain yang dianggap berhasil. Hasil
desain bersifat imitatif tipikal dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui
bila hasilnya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan model yang
dijadikan acuan.
Melalui metode pendekatan analogis maka olah desain dilakukan dengan cara
membandingkan dari bentuk dan mungkin konstruksi yang didapat dari alam atau
lingkungan disekitarnya. Hasil desain bersifat imitatif analog dan ketepatan
pemecahan masalah akan diukur melalui kesamaan sifat atau karakter desain
dengan bentuk benda yang dijadikan analognya.
Melalui metode pendekatan sintaktis maka olah desain didasarkan pada seperangkat
aturan, dalam hal ini kebanyakan adalah aturan-aturan geometris. Hasil desain
bersifat material terstruktur dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur
melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan aturan-aturan komposisi bentuk.
Melalui metode pendekatan
programatis maka olah desain didasarkan pada seperangkat aturan program. Hasil desain bersifat
material-kuantitatif dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui
kesesuaian wujud fisik desain dengan program yang telah ditetapkan.
Melalui metode pendekatan ideologis maka olah desain didasarkan pada cita-cita
yang dipegang sebagai tujuan berdasar faham-faham tertentu yang diyakini
sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hasil desain bersifat ideal menurut faham yang
dianut dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui kesesuaian dengan
wujud-wujud yang dianggap mampu merefleksikan nilai-nilai dari faham tersebut.
Melalui metode pendekatan substansif maka olah desain didasarkan pada hakikat atas apa
yang dirancang. Hasil desain diarahkan untuk menemukan kebenaran yang mendasar
atau hakiki dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui prinsip-prinsip
kebenaran dasar tersebut. Kebenaran dasar tersebut ditemukan melalui
penjelajahan nilai-nilai filsafat.
Dari metode-metode pendekatan di atas maka penggunaan
metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, dan sintaktis biasanya mampu
menghasilkan desain yang dapat diwujudkan secara nyata karena nilai-nilai yang
dijadikan tolok ukur lebih bersifat konkrit. Sementara itu penggunaan metode
pendekatan ideologis dan substansif belum tentu dapat menghasilkan desain yang
aplikatif karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur kadang lebih bersifat
abstrak. Semua metode pendekatan di atas merupakan bagian dari metode analitis
yang mengacu pada metolodogi desain yang sistematis (systematic design method).
PERUMUSAN KONSEP DESAIN
Untuk mampu merumuskan konsep desain maka pengertian
tentang kata “konsep” itu sendiri terlebih dahulu harus dipahami. Secara umum
konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit
(Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep diartikan sebagai
berikut: “Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk
pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan”
(http://id.wikipedia.org).
Dalam kaitannya dengan desain maka
konsep berhubungan dengan sistem. Oleh karena itu secara lebih khusus konsep
diartikan sebagai berikut: “Konsep sebagai suatu sistem adalah sehimpunan unsur
yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu
kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data
guna menghasilkan informasi” (Amirin, 1990).
Langkah pertama hingga keempat yang telah dipaparkan di
atas merupakan faktor-faktor yang perlu dipahami menuju pada perumusan konsep
desain. Empat langkah tersebut berguna untuk memetakan atau menetapkan jenis
dan arah perancangan. Dengan memahami komponen pemahaman desain maka sebuah
objek perancangan akan dapat dilihat dari sudut pandang yang tepat apakah masuk
dalam kategori ruang budaya, ruang fungsional, ataukah ruang komersial.
Masing-masing jenis ruang akan memiliki karakteristik yang berbeda yang akan
menentukan cara pandang terhadap permasalahan yang dimunculkan.
Dengan memahami skema perancangan metode analitis maka
sebuah objek perancangan dengan mudah dapat dicermati, ditemukan, dan
diformulasikan langkah-langkah pemecahan permasalahannya dalam proses
perancangan yang akan dijalankan. Proses perancangan yang akan dijalankan
tersebut dapat direncanakan secara transparan dan melalui pentahapan kerja yang
sistematis.
Dengan memahami pemetaan pola pikir desain maka desainer
dapat menyadari posisinya terhadap objek perancangan, sehingga ia dapat
memandang objek perancangan tersebut secara menyeluruh meliputi semua unsur
yang ada baik itu tapak, program, maupun ide. Dari sini seorang desainer
dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga fungsi yang harus dijalankan, dan
bukan hanya menjadi perakit, seniman, atau pemimpi yang masing-masing hanya
menekankan pada beberapa unsur perancangan saja.
Dengan memahami metode pendekatan desain maka sebuah objek perancangan
dapat diarahkan untuk diolah dengan menggunakan metode pendekatan tertentu.
Semakin spesifik sebuah objek perancangan maka semakin fokus pula metode
pendekatan yang dapat diterapkan. Pemilihan metode pendekatan yang tepat akan
sangat menentukan optimalisasi hasil perancangan.
Bila sebuah objek perancangan telah ditelusuri dengan
menggunakan empat langkah tersebut maka objek perancangan tersebut telah
terklasifikasi ke dalam beberapa sudut pandang pemahaman. Dengan demikian maka
objek perancangan yang tadinya rumit dan kompleks menjadi lebih sederhana,
sehingga permasalahan-permasalahan dapat dipilah-pilah bagian per bagian secara
sistematis dan terstruktur. Dengan adanya pemilahan permasalahan ini maka
perumusan konsep (sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan menyusun
skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan
dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi) dapat dilakukan
dengan lebih mudah. Perumusan konsep yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
yang mencakup banyak unsur akan dapat menciptakan konsep yang tepat sehingga
dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara
utuh[9].
SIMPULAN
Kompleksitas
permasalahan yang dihadapi dalam perancangan interior dapat disederhanakan
dengan cara mengklasifikasi permasalahan tersebut. Dengan
mengenali komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola
pikir desain dan metode pendekatan desain maka klasifikasi permasalahan dapat
dilakukan dengan lebih mudah. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya perumusan
konsep desain sebagai formulasi pemecahan masalah perancangan. Konsep desain
tersebut merupakan abstraksi yang menjadi landasan atau panduan untuk
diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan abstraksi konsep ke
dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan
demikian konsep yang tepat akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah
desain yang terintegrasi secara utuh.
REFERENSI
Abercrombie, Stanley. 1990. A
Philosphy of Interior Design. New York: Harper & Row.
Broadbent, G.1973. Design in
Architecture. London: John Wiley & Sons.
Cross, Nigel.1984. Developments
in Design Methodology. London: John Wiley & Sons.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Evans, Barrie. 1982. Changing
Design. London: John Wiley & Sons.
Jones, John Chris. 1992. Design
Method (Second Edition). New York: Van Nostrand Reinhold.
Jones, John Chris. 1971. The
State of the Art in Design Methods. DMG-DRS Journal. Vol. 7, No. 2
Margolin, Victor and Richard Buchanan. 1995. The Idea of Design. A Design Issues Reader. London: The MIT Press.
Mark I. Aditjipto. 2002. Studi
Perancangan Arsitektur. Surabaya: Jurusan Arsitektur Universitas Kristen
Petra.
Shoshkes, Ellen. 1989. The
Design Process. New York: Whitney Library of Design.
Tatang M. Amirin. 1990. Menyusun
Rencana Penelitian. Jakarta
Internet:
http://id.wikipedia.org
[1] Disamping perlu pemecahan integral
secara metodologis, kompleksitas permasalahan desain ini juga perlu pemecahan
integral secara multi disiplin ilmu. Oleh karena itu penggunaan metodologi,
filosofi, atau bahkan penetapan objek desain yang bersifat wajar akan lebih
mudah untuk diterima semua kalangan yang terlibat dalam sebuah perancangan
(Buchanan dalam Margolin, 1995)
[2] Metodologi ini
dimaksudkan untuk: (1) mengurangi jumlah kesalahan desain, redesain dan
penundaan, (2) memungkinkan untuk lebih imajinatif dan perancangan-perancangan
lebih lanjut (Jones dalam Cross, 1984)
[3] Thinking
before drawing menyatakan adanya suatu disiplin dari perancang dalam
aktivitas merancang, dan ini mengarah ke suatu pertimbangan akan perlunya suatu
strategi dalam perancangan. Para ahli teori menyatakan bahwa pembentukan suatu
strategi, yang mereka istilahkan proses, akan tidak saja memberi perancang
suatu kerangka yang tertib yang bisa diandalkan, tetapi juga akan membuat suatu
tim perancang bekerja dengan lebih efisien. Semua proses ini bersandar pada
suatu prosedur kerja yang bertahap-tahap, secara linier atau melingkar, dengan
atau tanpa umpan balik (Jones, 1971 & Broadbent, 1973 dalam Mark I. Aditjipto,
2002).
[4] Dalam morfologi
penyelesaian masalah, Jaques menjelaskan bahwa masalah merupakan penyelesaian
itu sendiri. Masalah-masalah yang mendasar dalam tiap-tiap bidang perancangan
pada dasarnya telah berulangkali diselesaikan dan telah dikenali dengan baik.
Hal ini memungkinkan terjadinya akumulasi pengetahuan terhadap cara
penyelesaian masalah yang mengakibatkan adanya landasan untuk memunculkan versi
penyelesaian masalah yang baru berangkat dari hal-hal yang telah sering
dilakukan (Jaques dalam Evans, 1982).
[5] Dalam hal nilai, Jaques menjelaskan bahwa orang harus ditunjukkan
apa yang semestinya diinginkan. Desainer memiliki persepsi dan kepekaan yang
lebih tinggi terhadap nilai-nilai sosial dan budaya melampaui apa yang dimiliki
orang awam. Hal ini merupakan tanggung jawab para desainer untuk mengembangkan
dan menanamkan nilai-nilai tersebut bagi kepentingan masyarakat. Hal ini
membutuhkan keteguhan dalam penciptaan hasil akhir dan cara hidup yang orang
awam tidak akan tahu bahwa mereka sesungguhnya membutuhkannya hingga mereka
sungguh-sungguh mengalaminya sendiri. Hal tersebut merupakan tugas para
desainer untuk memberikan kepada masyarakat apa yang mereka tidak pernah
impikan bahwa mereka dapat memilikinya, oleh karena itu akan ada gunanya untuk
memberikan konsultasi kepada mereka (Jaques
dalam Evans, 1982).
[6] Bentuk dasar dari metode perancangan analitis ini dijelaskan oleh
Luckman tersusun atas: (1) analisis: pengumpulan dan pemilahan semua informasi
yang relevan berkaitan dengan masalah desain yang ditangani, (2) sintesis:
formulasi penyelesaian yang potensial atas bagian-bagian dari permasalahan yang
memungkinkan ketika pengambilan keputusan atas informasi telah terpenuhi di
tahapan analisis, (3) evaluasi: usaha pengambilan keputusan dengan menggunakan
beberapa kriteria yang diantara pemecahan-pemecahan masalah yang memungkinkan
merupakan yang paling bisa menjawab permasalahan secara memuaskan (Luckman
dalam Cross, 1984).
[7] Hal ini berkaitan dengan masalah kepercayaan,
yang dijelaskan oleh Jaques bahwa orang awam harus dirubah cara berpikirnya
untuk dapat memberikan kepercayaan kepada desainer profesional yang
berpengalaman. Kualifikasi profesional dan reputasi dari seorang desainer akan
memberikan jaminan bahwa hasil pemikirannya dapat dihandalkan dan tepat sesuai
tujuan (Jaques dalam Evans, 1982).
[8] Pemecahan desain harus merespon beraneka pembatasan, meliputi
ide-ide, kondisi lingkungan dan teknis. Kondisi teknis ini berkaitan dengan
tapak. Tapak bukan sekedar latar belakang melainkan perangsang bentukan
arsitektural. Tapak akan mempengaruhi zoning, peraturan-peraturan,
pembatasan-pembatasan berkaitan dengan sejarah atau pengembangan area,
perjanjian akte, kesulitan-kesulitan teknis dan nilai-nilai sosial
kemasyarakatan. Segala hal yang berkaitan dengan ide dan tapak tersebut diolah
dalam program. Program yang baik semestinya dapat dikomunikasikan dengan baik,
memuat segala permasalahan dalam tabel, dan mengatur lingkup dan bahkan biaya
dari sebuah proyek (Shoshkes, 1989)
[9] Lebih lanjut tentang
hakekat konsep dapat ditelusuri dalam kajian filosofi desain interior seperti
yang ditulis Abercrombie sebagai berikut: “Kesuksesan sebuah desain akan
dibatasi oleh kebijaksanaan konsep yang mengikutinya; selanjutnya kebijaksanaan
sebuah konsep akan dibatasi oleh pandangan dan pengetahuan desainer yang
menyusunnya” (Abercrombie, 1990).