Kamis, 30 Mei 2013

PENDEKATAN KONSEPTUAL DALAM PROSES PERANCANGAN INTERIOR

PENDEKATAN KONSEPTUAL DALAM PROSES PERANCANGAN INTERIOR




ABSTRAK

Proses perancangan interior bertujuan untuk memecahkan masalah yang kompleks berkaitan dengan respon manusia terhadap ruang. Untuk dapat memecahkan masalah secara utuh maka diperlukan sebuah konsep perancangan yang tepat. Keberhasilan konsep perancangan tergantung pada pendekatan yang dilakukan dalam proses penyusunannya.
Pendekatan konseptual dapat dibangun dengan cara memahami beberapa hal, meliputi: komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola pikir desain, metode pendekatan desain, dan diakhiri dengan perumusan konsep desain. Dengan memahami hal-hal tersebut maka sebuah permasalahan desain yang kompleks dapat disederhanakan ke dalam klasifikasi yang jelas dan sistematis, sehingga proses penyusunan konsep perancangan yang tepat dapat dilakukan dengan lebih mudah. Konsep yang tepat pada akhirnya akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.

Kata kunci: pendekatan, konseptual, perancangan, interior

  
LATAR BELAKANG
Desain interior pada prinsipnya merupakan upaya memecahkan masalah kehidupan yang berkaitan dengan ruang bagian dalam dari sebuah bangunan. Masalah yang harus dipecahkan dalam desain interior berkaitan dengan masalah fisik dan non fisik. Masalah fisik berkaitan dengan kondisi ruang yang terdiri atas unsur lantai, dinding, plafon, perabot, utilitas seperti jendela untuk memasukan cahaya alam, ventilasi untuk mengalirkan udara alami, pintu untuk mengakses hubungan antar-ruang, mekanikal dan elektrikal seperti saluran perlistrikan dan pemipaan. Masalah non fisik berkaitan dengan faktor manusia seperti kondisi psikologis, sosial dan budaya yang membentuk persepsi-persepsi dan perasaan terhadap suasana ruang tertentu[1].
Permasalahan yang kompleks tersebut perlu diperhitungkan dalam upaya mewujudkan sebuah desain interior yang memberikan penyelesaian masalah secara integral. Dengan menggunakan metolodogi desain yang sistematis (systematic design method)[2] maka upaya pemecahan permasalahan pertama dapat dilakukan dengan mendeskripsikan permasalahan tersebut dengan cara mendata secara lengkap untuk kemudian diuraikan satu persatu secara runtut dalam bentuk analisis masalah. Setelah itu akan ditemukan titik-titik permasalahan yang menjadi bahan untuk menetapkan rumusan permasalahan. Dari rumusan permasalahan maka akan dimunculkan program kebutuhan perancangan berupa daftar yang berisi hal-hal yang harus dipenuhi dalam perancangan. Setelah program kebutuhan perancangan ditemukan maka proses pencarian ide-ide desain pun dimulai. Proses penggalian ide-ide awal ini disampaikan dalam bentuk gambar-gambar skematik atau sering disebut sebagai skematik desain. Dalam proses pengembangan skematik desain itulah sering terjadi kesulitan karena alternatif-alternatif pengembangan desain dapat simpang siur antara satu alternatif terhadap alternatif yang lain. Oleh karena itu ketika proses skematik desain berlangsung maka desainer harus mulai merumuskan apa yang disebut sebagai konsep desain.
Keberadaan sebuah konsep desain dalam perancangan interior sangatlah penting. Dengan adanya konsep maka seluruh permasalahan yang akan dipecahkan dalam perancangan diformulasikan ke dalam satu perumusan yang bersifat abstrak, sebagai landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan dari abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan demikian maka diharapkan konsep desain akan dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.
Tulisan  ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan dalam proses perancangan desain interior yang menggunakan metodologi transparan agar permasalahan yang kompleks dapat diuraikan secara sistematis, dan formulasi pemecahan masalah berupa konsep perancangan dapat disusun untuk mengikat hasil rancangan menjadi satu solusi yang integral.

KOMPONEN PEMAHAMAN DESAIN
Hal pertama yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang hakekat desain yang secara umum dapat dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu: (1) desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, (2) desain sebagai pemecahan masalah teknis, dan (3) desain sebagai perwujudan nilai ekonomis. Tiga komponen ini merupakan pengembangan dari pandangan Hillier, Musgrove dan O’Sulivan (1972) yang dirangkum oleh Mark I. Aditjipto (2002) tentang fungsi lingkungan buatan.
Sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya, maka desain dapat dikaitkan dengan faktor nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Disini desain merupakan sarana untuk menginterpretasikan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain ke dalam wujud materi yaitu benda konkrit yang berfungsi untuk mengungkapkan sesuatu nilai budaya tertentu. Dengan demikian maka desain dikonsentrasikan pada olah bentuk, komposisi dan kombinasi dari bahan, proporsi, tekstur, warna, dan unsur-unsur detail lainnya. Jadi, dalam konteks ini desain dipahami sebagai seni. Untuk mampu memahami desain sebagai perwujudan nilai simbolik dan budaya maka diperlukan suatu pengalaman mental tertentu. Jadi  seseorang perlu masuk ke dalam konteks pemahaman budaya tertentu baik secara alami (dengan sendirinya) maupun disengaja (dengan mempelajari). Komponen pertama ini banyak ditemukan pada masyarakat tradisional atau etnik, dimana benda-benda di sekitar lingkungan kehidupan mereka didesain berdasarkan keterkaitannya dengan nilai-nilai, pandangan hidup, kepercayaan, mitos, dan lain-lain. Anggota masyarakat tradisional secara otomatis akan memiliki pengalaman mental melalui kehidupan sehari-hari mereka sehingga untuk memahami nilai-nilai simbolik pada desain benda-benda di sekitar mereka, mereka akan mudah melakukannya. Orang yang bukan anggota masyarakat tradisional tertentu perlu belajar untuk mampu menyusun pengalaman mental tersebut. Dalam kehidupan masyarakat modern, nilai simbolik dan budaya banyak ditemukan pada desain-desain ruang budaya (cultural space) seperti bangunan religius, museum, city hall, perpustakaan, dan lain-lain. Nilai-nilai simbolik yang ada pada desain-desain tersebut bertujuan untuk memberikan interpretasi atas peradaban (civilization) sebuah masyarakat modern.
Sebagai pemecahan masalah teknis maka desain dapat dikaitkan dengan faktor fungsional. Disini desain merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan fungsi-fungsi dalam kehidupan sehari-hari. Pemahaman ini muncul sejak adanya revolusi teknik pada era revolusi industri. Desain bukan lagi dipandang sebagai seni melainkan lebih kepada ilmu teknik (engineering). Desain dipelajari dan dikembangkan secara ilmiah dengan pendekatan-pendekatan empirik untuk memberikan pemecahan masalah (problem solving) secara objektif dan hasil temuannya dapat digeneralisasikan. Hasil atau wujud konkrit dari pemahaman desain sebagai pemecahan masalah teknis adalah desain-desain modern yang mengutamakan fungsi teknis, oleh karenanya desain menjadi bersifat mekanis dan rakitan. Hal ini dapat dilihat contohnya seperti penggunaan bahan-bahan industrial yang standar, homogen dan dapat dirakit secara cepat dan mudah serta hasilnya kuat atau optimum secara teknis. Wujud yang tercipta biasanya bentuk-bentuk standar yaitu geometris, menggunakan bahan, konstruksi, tekstur, pewarnaan dan finishing secara lugas dan produknya homogen.
Sebagai perwujudan nilai ekonomis maka desain dapat dikaitkan dengan faktor investasi atau komoditas. Disini desain merupakan solusi untuk memberikan keuntungan ekonomis dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Sama halnya dengan pemahaman yang kedua di atas, pemahaman desain sebagai perwujudan nilai ekonomis muncul sejak adanya revolusi dibidang ilmu sosial khususnya ilmu ekonomi di era revolusi industri. Hal ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan budaya konsumsi masa yang melahirkan gaya hidup modern (modern life style). Gaya hidup modern itu sendiri didasari oleh suatu nilai baru yaitu pencitraan (image projection). Pencitraan diciptakan untuk mendukung keberlangsungan budaya konsumsi masa. Dari pencitraan inilah muncul apa yang disebut sebagai trend. Trend dalam dunia desain dapat diartikan sebagai kecenderungan dalam mengikuti dan menggunakan model desain tertentu dalam kurun waktu yang sementara. Trend ini selalu diciptakan dan disurutkan supaya orang terus melakukan konsumsi atas model desain yang terbaru. Oleh karena itu desain sebagai perwujudan nilai ekonomis dapat dipahami melalui pencitraan. Pencitraan ini selalu dikaitkan dengan produk konsumsi, yang dalam dunia desain interior hal ini berkaitan dengan ruang-ruang komersial (commercial space) seperti perwujudan citra merek dagang (brand image) pada penataan interior outlet pertokoan, waralaba (frenchise), dan sebagainya.

SKEMA PERANCANGAN METODE ANALITIS
Langkah kedua yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang skema perancangan atau pentahapan-pentahapan dalam perancangan. Karena perancangan interior pada umumnya memiliki kompleksitas permasalahan yang relatif tinggi, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode analitis (analitical method). Hal ini mengacu pada metodologi desain (Jones, 1971) sebagai formulasi dari apa yang dinamakan “berpikir sebelum menggambar” (“thinking before drawing”)[3].
Metode ini merupakan metode dasar yang didalamnya dapat dipilah lagi dalam metode-metode pendekatan yang lebih spesifik yang akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya. Dalam metode analitis ini hasil rancangan akan sangat dipengaruhi oleh proses yang dilakukan sebelumnya. Proses tersebut meliputi penetapan masalah, pendataan lapangan, literature, tipologi, analisis pemrograman, sintesis, skematik desain, penyusunan konsep dan pewujudan desain.

Untuk memunculkan sebuah kebutuhan perancangan maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah menemukan permasalahan[4]. Permasalahan disini akan selalu dikaitkan dengan faktor manusia sebagai penggunanya, yang menghadapi kendala-kendala dalam merespon keberadaan suatu ruang tertentu, baik itu disadari maupun tidak. Untuk kendala yang dapat diasadari oleh penggunanya, maka pengguna itu sendiri yang menetapkan permasalahan; sedangkan untuk kendala yang tidak disadari maka desainer sebagai orang yang menguasai teori dan aplikasi perancangan akan dapat memiliki kepekaan untuk menemukan kendala-kendala tersebut[5].
Langkah selanjutnya adalah melakukan pendataan. Pendataan dapat dilakukan setidaknya dari lapangan, yaitu kondisi objek yang akan dirancang meliputi data fisik  ( unsur pembentuk dan pengisi ruang, ukuran-ukuran, material, kondisi udara, suara, cahaya dan lain-lain) dan data non fisik (lingkungan sosial, ekonomi, budaya, psikologis dan lain-lain). Data lainnya adalah data literatur. Data literatur sangat penting untuk dijadikan tolok ukur perancangan. Data literatur disusun berdasarkan tingkat kebutuhannya untuk menilai hasil pendataan fisik dan non fisik. Data literatur dapat disusun secara tekstual maupun tidak. Apabila literatur-literatur itu bersifat umum dan formalistik maka tidak perlu dicantumkan dalam pendataan, karena mudah dimengerti secara umum. Literatur yang spesifik yang berkaitan dengan permasalahan utama perancangan penting untuk dicantumkan secara mendetail dalam proses pendataan. Jenis data ketiga adalah data tipologi, yaitu berupa data lapangan yang diambil dari lokasi berbeda namun memiliki tipe yang sama dengan data lapangan yang menjadi objek perancangan. Data tipologi ini berfungsi sebagai pembanding atas data lapangan. Disamping itu data tipologi juga dapat digunakan sebagai tolok ukur untuk membantu kasus-kasus perancangan yang sulit dicari literaturnya.
Setelah data terkumpul lengkap maka langkah selanjutnya adalah melakukan analisis. Tahap ini merupakan tahap pemrograman, yaitu membuat program-program kebutuhan desain berdasarkan hasil-hasil analisis. Semakin data yang dihimpun lengkap maka hasil analisis pun dapat semakin tuntas sehingga program-program kebutuhan yang dimunculkan akan dapat menjadi acuan yang dapat dipenuhi.
Hasil analisis program merupakan dasar dalam menarik sintesis berupa simpulan-simpulan awal yang dapat dijadikan alternatif-alternatif arah perancangan. Dari sinilah proses perancangan dapat dipecah menjadi dua jalur yaitu membuat skema-skema pemecahan masalah perancangan atau skematik desain dan disisi lain mulai memformulasikan konsep desain yang dijadikan pengikat arah perancangan. Skematik desain dan konsep dasar desain ini dapat dievaluasi sebelum dikembangkan lebih lanjut menjadi sebuah produk desain berupa gambar-gambar penyajian. Produk desain ini juga perlu dievaluasi berdasarkan program-program yang ditetapkan dalam analisis pemrograman melalui sebuah proses umpan balik (feed back).[6]

PEMETAAN POLA PIKIR DESAIN
Pembahasan langkah kedua tentang skema perancangan merupakan pembahasan dari sisi objek perancangan. Oleh karena itu, langkah ketiga yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang pemetaan pola pikir desain, yaitu posisi desainer dalam kaitannya dengan cara berpikir terhadap objek yang dirancang[7]. Untuk memposisikan diri sebagai desainer maka seseorang setidaknya memiliki tiga materi yaitu tapak (site), program dan ide[8].
 
Apabila seseorang hanya memiliki tapak dan program maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang perakit. Pekerjaan ini lebih mudah karena ia hanya dituntut untuk menghasilkan rakitan dari olah tapak dengan mengacu pada program-program yang ditetapkan untuk mengolah tapak tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang fungsional. Sebagai sebuah rakitan maka desain ini memiliki ciri-ciri kompak, standar objektif, dan homogen. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki tapak dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang seniman. Pekerjaan ini lebih bebas karena ia dapat mengolah tapak dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya batasan-batasan dari program yang telah ditetapkan. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang ekspresif. Sebagai sebuah hasil ekspresi seni maka desain ini memiliki ciri-ciri bebas, tidak standar, subjektif, dan khas atau unik. Selanjutnya apabila seseorang hanya memiliki program dan ide maka ia akan memposisikan dirinya sebagai seorang pemimpi. Pekerjaan ini lebih idealis karena ia dapat mengolah program yang telah ditetapkan dengan ide-idenya sendiri tanpa adanya tapak yang membatasi ide-ide tersebut. Hasil dari pekerjaan ini adalah desain yang eksperimental bahkan terkadang utopis sehingga hanya ada di dalam angan-angan saja dan belum tentu dapat diwujudkan secara nyata. Sebagai sebuah hasil pemikiran ideal yang eksperimental maka desain ini memiliki ciri-ciri sempurna, imajiner, ideologis, dan bahkan absurd.
Dengan posisi desainer yang memiliki ketiga materi yaitu tapak, program dan ide berarti seorang desainer hendaknya mampu menjembatani tiga macam posisi yaitu sebagai perakit, seniman dan pemimpi menjadi satu kesatuan yang saling bersinergi antara satu dengan yang lain. Jadi hasil kerja desainer berupa desain yang fungsional tetapi tetap memperhatikan ekspresi dan juga mengandung eksperimen-eksperimen untuk membuka peluang bagi pengembangan lebih lanjut. Dengan demikian maka karya seorang desainer bukan karya yang statis melainkan dinamis, bukan karya yang subjektif sepenuhnya melainkan tetap bisa dipertanggungjawabkan objektifitasnya, bukan karya yang mengawang-awang melainkan realistis dan dapat diwujudkan.

METODE PENDEKATAN DESAIN
Langkah keempat yang perlu dilakukan untuk merumuskan pendekatan konseptual dalam proses perancangan interior adalah memahami tentang metode pendekatan desain. Ada banyak metode-metode pendekatan desain yang dapat dipakai dalam proses perancangan interior, meliputi metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, sintaktis, programatik, ideologis, dan substansif. Metode-metode pendekatan tersebut diperlukan untuk mewujudkan ide-ide atau gagasan yang tertuang dalam konsep menjadi sebuah desain. Jadi metode-metode pendekatan tersebut bukan merupakan konsep itu sendiri melainkan merupakan “katalisator” konsep.

Uraian macam-macam metode pendekatan desain ini merupakan pengembangan dari metode-metode yang dikemukakan oleh Broadbent (1973) dalam Aditjipto (2002). Melalui metode pendekatan pragmatis maka olah desain dilakukan melalui proses uji coba. Hasil desain bersifat eksploratif dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui setelah melalui proses evaluasi berkala. Apabila hasil desain tidak mampu memecahkan masalah secara tepat maka akan dicoba lagi dengan alternatif pengolahan yang lain, demikian seterusnya hingga sampai pada batas tertentu hasil olah desain dianggap optimal.
Melalui metode pendekatan tipologis maka olah desain dilakukan dengan cara mencontoh model yang pernah dilakukan orang lain yang dianggap berhasil. Hasil desain bersifat imitatif tipikal dan ketepatan pemecahan masalah akan diketahui bila hasilnya memiliki tingkat kesesuaian yang tinggi dengan model yang dijadikan acuan.
Melalui metode pendekatan analogis maka olah desain dilakukan dengan cara membandingkan dari bentuk dan mungkin konstruksi yang didapat dari alam atau lingkungan disekitarnya. Hasil desain bersifat imitatif analog dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesamaan sifat atau karakter desain dengan bentuk benda yang dijadikan analognya.
Melalui metode pendekatan sintaktis maka olah desain didasarkan pada seperangkat aturan, dalam hal ini kebanyakan adalah aturan-aturan geometris. Hasil desain bersifat material terstruktur dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan aturan-aturan komposisi bentuk.
Melalui metode pendekatan programatis maka olah desain didasarkan pada seperangkat aturan program. Hasil desain bersifat material-kuantitatif dan ketepatan pemecahan masalah akan diukur melalui kesesuaian wujud fisik desain dengan program yang telah ditetapkan.
Melalui metode pendekatan ideologis maka olah desain didasarkan pada cita-cita yang dipegang sebagai tujuan berdasar faham-faham tertentu yang diyakini sebagai sebuah kebenaran mutlak. Hasil desain bersifat ideal menurut faham yang dianut dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui kesesuaian dengan wujud-wujud yang dianggap mampu merefleksikan nilai-nilai dari faham tersebut.
Melalui metode pendekatan substansif maka olah desain didasarkan pada hakikat atas apa yang dirancang. Hasil desain diarahkan untuk menemukan kebenaran yang mendasar atau hakiki dan ketepatan pemecahan masalah diukur melalui prinsip-prinsip kebenaran dasar tersebut. Kebenaran dasar tersebut ditemukan melalui penjelajahan nilai-nilai filsafat.
Dari metode-metode pendekatan di atas maka penggunaan metode pendekatan pragmatis, tipologis, analogis, dan sintaktis biasanya mampu menghasilkan desain yang dapat diwujudkan secara nyata karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur lebih bersifat konkrit. Sementara itu penggunaan metode pendekatan ideologis dan substansif belum tentu dapat menghasilkan desain yang aplikatif karena nilai-nilai yang dijadikan tolok ukur kadang lebih bersifat abstrak. Semua metode pendekatan di atas merupakan bagian dari metode analitis yang mengacu pada metolodogi desain yang sistematis (systematic design method).

PERUMUSAN KONSEP DESAIN
Untuk mampu merumuskan konsep desain maka pengertian tentang kata “konsep” itu sendiri terlebih dahulu harus dipahami. Secara umum konsep merupakan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit (Depdikbud, 1992). Lebih lanjut, secara mendasar konsep diartikan sebagai berikut: “Konsep merupakan abstrak, entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu entitas, kejadian atau hubungan” (http://id.wikipedia.org).
Dalam kaitannya dengan desain maka konsep berhubungan dengan sistem. Oleh karena itu secara lebih khusus konsep diartikan sebagai berikut: “Konsep sebagai suatu sistem adalah sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi” (Amirin, 1990).
Langkah pertama hingga keempat yang telah dipaparkan di atas merupakan faktor-faktor yang perlu dipahami menuju pada perumusan konsep desain. Empat langkah tersebut berguna untuk memetakan atau menetapkan jenis dan arah perancangan. Dengan memahami komponen pemahaman desain maka sebuah objek perancangan akan dapat dilihat dari sudut pandang yang tepat apakah masuk dalam kategori ruang budaya, ruang fungsional, ataukah ruang komersial. Masing-masing jenis ruang akan memiliki karakteristik yang berbeda yang akan menentukan cara pandang terhadap permasalahan yang dimunculkan.
Dengan memahami skema perancangan metode analitis maka sebuah objek perancangan dengan mudah dapat dicermati, ditemukan, dan diformulasikan langkah-langkah pemecahan permasalahannya dalam proses perancangan yang akan dijalankan. Proses perancangan yang akan dijalankan tersebut dapat direncanakan secara transparan dan melalui pentahapan kerja yang sistematis.
Dengan memahami pemetaan pola pikir desain maka desainer dapat menyadari posisinya terhadap objek perancangan, sehingga ia dapat memandang objek perancangan tersebut secara menyeluruh meliputi semua unsur yang ada baik itu tapak, program, maupun ide. Dari sini seorang desainer dituntut untuk mampu mengintegrasikan tiga fungsi yang harus dijalankan, dan bukan hanya menjadi perakit, seniman, atau pemimpi yang masing-masing hanya menekankan pada beberapa unsur perancangan saja.
        Dengan memahami metode pendekatan desain maka sebuah objek perancangan dapat diarahkan untuk diolah dengan menggunakan metode pendekatan tertentu. Semakin spesifik sebuah objek perancangan maka semakin fokus pula metode pendekatan yang dapat diterapkan. Pemilihan metode pendekatan yang tepat akan sangat menentukan optimalisasi hasil perancangan.
Bila sebuah objek perancangan telah ditelusuri dengan menggunakan empat langkah tersebut maka objek perancangan tersebut telah terklasifikasi ke dalam beberapa sudut pandang pemahaman. Dengan demikian maka objek perancangan yang tadinya rumit dan kompleks menjadi lebih sederhana, sehingga permasalahan-permasalahan dapat dipilah-pilah bagian per bagian secara sistematis dan terstruktur. Dengan adanya pemilahan permasalahan ini maka perumusan konsep (sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sehimpunan unsur yang melakukan suatu kegiatan menyusun skema atau tata cara melakukan suatu kegiatan pemrosesan untuk mencapai tujuan dan dilakukan dengan mengolah data guna menghasilkan informasi) dapat dilakukan dengan lebih mudah. Perumusan konsep yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang mencakup banyak unsur akan dapat menciptakan konsep yang tepat sehingga dapat mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh[9].

SIMPULAN
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam perancangan interior dapat disederhanakan dengan cara mengklasifikasi permasalahan tersebut. Dengan mengenali komponen pemahaman desain, skema perancangan analitis, pemetaan pola pikir desain dan metode pendekatan desain maka klasifikasi permasalahan dapat dilakukan dengan lebih mudah. Hal ini akan berpengaruh terhadap upaya perumusan konsep desain sebagai formulasi pemecahan masalah perancangan. Konsep desain tersebut merupakan abstraksi yang menjadi landasan atau panduan untuk diterjemahkan ke dalam tataran teknis, yaitu penerapan abstraksi konsep ke dalam perwujudan nyata yang dapat terukur dan tergambar secara visual. Dengan demikian konsep yang tepat akan mampu mengikat hasil perancangan menjadi sebuah desain yang terintegrasi secara utuh.

REFERENSI
Abercrombie, Stanley. 1990. A Philosphy of Interior Design. New York: Harper & Row.

Broadbent, G.1973. Design in Architecture. London: John Wiley & Sons.

Cross, Nigel.1984. Developments in Design Methodology. London: John Wiley & Sons.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Evans, Barrie. 1982. Changing Design. London: John Wiley & Sons.

Jones, John Chris. 1992. Design Method (Second Edition). New York: Van Nostrand Reinhold.

Jones, John Chris. 1971. The State of the Art in Design Methods. DMG-DRS Journal. Vol. 7, No. 2

Margolin, Victor and Richard Buchanan. 1995. The Idea of Design. A Design Issues Reader. London: The MIT Press.

Mark I. Aditjipto. 2002. Studi Perancangan Arsitektur. Surabaya: Jurusan Arsitektur Universitas Kristen Petra.

Shoshkes, Ellen. 1989. The Design Process. New York: Whitney Library of Design.

Tatang M. Amirin. 1990. Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta

Internet:
http://id.wikipedia.org


[1] Disamping perlu pemecahan integral secara metodologis, kompleksitas permasalahan desain ini juga perlu pemecahan integral secara multi disiplin ilmu. Oleh karena itu penggunaan metodologi, filosofi, atau bahkan penetapan objek desain yang bersifat wajar akan lebih mudah untuk diterima semua kalangan yang terlibat dalam sebuah perancangan (Buchanan dalam Margolin, 1995)
[2] Metodologi ini dimaksudkan untuk: (1) mengurangi jumlah kesalahan desain, redesain dan penundaan, (2) memungkinkan untuk lebih imajinatif dan perancangan-perancangan lebih lanjut (Jones dalam Cross, 1984)
[3] Thinking before drawing menyatakan adanya suatu disiplin dari perancang dalam aktivitas merancang, dan ini mengarah ke suatu pertimbangan akan perlunya suatu strategi dalam perancangan. Para ahli teori menyatakan bahwa pembentukan suatu strategi, yang mereka istilahkan proses, akan tidak saja memberi perancang suatu kerangka yang tertib yang bisa diandalkan, tetapi juga akan membuat suatu tim perancang bekerja dengan lebih efisien. Semua proses ini bersandar pada suatu prosedur kerja yang bertahap-tahap, secara linier atau melingkar, dengan atau tanpa umpan balik (Jones, 1971 & Broadbent, 1973 dalam Mark I. Aditjipto, 2002).
[4] Dalam morfologi penyelesaian masalah, Jaques menjelaskan bahwa masalah merupakan penyelesaian itu sendiri. Masalah-masalah yang mendasar dalam tiap-tiap bidang perancangan pada dasarnya telah berulangkali diselesaikan dan telah dikenali dengan baik. Hal ini memungkinkan terjadinya akumulasi pengetahuan terhadap cara penyelesaian masalah yang mengakibatkan adanya landasan untuk memunculkan versi penyelesaian masalah yang baru berangkat dari hal-hal yang telah sering dilakukan (Jaques dalam Evans, 1982).
[5] Dalam hal nilai, Jaques menjelaskan bahwa orang harus ditunjukkan apa yang semestinya diinginkan. Desainer memiliki persepsi dan kepekaan yang lebih tinggi terhadap nilai-nilai sosial dan budaya melampaui apa yang dimiliki orang awam. Hal ini merupakan tanggung jawab para desainer untuk mengembangkan dan menanamkan nilai-nilai tersebut bagi kepentingan masyarakat. Hal ini membutuhkan keteguhan dalam penciptaan hasil akhir dan cara hidup yang orang awam tidak akan tahu bahwa mereka sesungguhnya membutuhkannya hingga mereka sungguh-sungguh mengalaminya sendiri. Hal tersebut merupakan tugas para desainer untuk memberikan kepada masyarakat apa yang mereka tidak pernah impikan bahwa mereka dapat memilikinya, oleh karena itu akan ada gunanya untuk memberikan konsultasi kepada mereka (Jaques dalam Evans, 1982).
[6] Bentuk dasar dari metode perancangan analitis ini dijelaskan oleh Luckman tersusun atas: (1) analisis: pengumpulan dan pemilahan semua informasi yang relevan berkaitan dengan masalah desain yang ditangani, (2) sintesis: formulasi penyelesaian yang potensial atas bagian-bagian dari permasalahan yang memungkinkan ketika pengambilan keputusan atas informasi telah terpenuhi di tahapan analisis, (3) evaluasi: usaha pengambilan keputusan dengan menggunakan beberapa kriteria yang diantara pemecahan-pemecahan masalah yang memungkinkan merupakan yang paling bisa menjawab permasalahan secara memuaskan (Luckman dalam Cross, 1984).
[7] Hal ini berkaitan dengan masalah kepercayaan, yang dijelaskan oleh Jaques bahwa orang awam harus dirubah cara berpikirnya untuk dapat memberikan kepercayaan kepada desainer profesional yang berpengalaman. Kualifikasi profesional dan reputasi dari seorang desainer akan memberikan jaminan bahwa hasil pemikirannya dapat dihandalkan dan tepat sesuai tujuan (Jaques dalam Evans, 1982).
[8] Pemecahan desain harus merespon beraneka pembatasan, meliputi ide-ide, kondisi lingkungan dan teknis. Kondisi teknis ini berkaitan dengan tapak. Tapak bukan sekedar latar belakang melainkan perangsang bentukan arsitektural. Tapak akan mempengaruhi zoning, peraturan-peraturan, pembatasan-pembatasan berkaitan dengan sejarah atau pengembangan area, perjanjian akte, kesulitan-kesulitan teknis dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Segala hal yang berkaitan dengan ide dan tapak tersebut diolah dalam program. Program yang baik semestinya dapat dikomunikasikan dengan baik, memuat segala permasalahan dalam tabel, dan mengatur lingkup dan bahkan biaya dari sebuah proyek (Shoshkes, 1989)
[9] Lebih lanjut tentang hakekat konsep dapat ditelusuri dalam kajian filosofi desain interior seperti yang ditulis Abercrombie sebagai berikut: “Kesuksesan sebuah desain akan dibatasi oleh kebijaksanaan konsep yang mengikutinya; selanjutnya kebijaksanaan sebuah konsep akan dibatasi oleh pandangan dan pengetahuan desainer yang menyusunnya” (Abercrombie, 1990).

Tugas Makalah Ergonomi


PENERAPAN ERGONOMI DALAM PEMBELAJARAN

Makalah
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Ergonomi yang diampu oleh Teddy Ageng Maulana, S.Sn.





oleh
Elsa Nurmala Sari Manalu
(312130032)


PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR
STISI TELKOM BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang maha Kuasa, karena atas rahmat-Nya maka makalah ini dapat selesai dengan baik.
Makalah ini dibuat untuk lebih mengetahui tentang matakuliah Ergonomi yang merupakan salah satu matakuliah dalan Desain Interior. Pentingnya Ergonomi terutama dalam pembelajaran di sekolah maupun di perguruan tinggi. Melihat dari cara belajar siswa dan mahasiswa, Ergonomi penting untuk diketahui lebih banyak lagi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi pengetahuan untuk Desain Interior secara khusus. Saran dan kritik penulis butuhkan dalam melengkapi makalah ini.

Bandung, 15 April 2013

Penulis




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
1
B.     Rumusan Masalah
2
C.     Tujuan Penulisan
2
D.    Manfaat Penulisan
2
BAB II PEMBAHASAN

A.    Pembelajaran  Berbasis Ergonomi
3
B.     Kaidah Ergonomi dalam Mendesain Meja dan Kursi Belajar

C.     Kaidah Ergonomi dalam Penempatan Papan Tulis, Layar OHP atau Layar LCD

D.    Penerangan Ruangan

E.     Kaidah  ergonomi dalam merancang slide power point dalam pembelajaran

F.      Ergonomi Diperlakukan di dalam Pembelajaran

G.    Upaya-upaya yang Efektif dan Efisien untuk Mengatasi Masalah Pembelajaran  yang Tidak Ergonomis

BAB III PENUTUP

Simpulan

Saran

Daftar Pustaka







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan alat, cara kerja dan lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 2003d). 
Memperhatikan hal tersebut di atas maka pembelajaran juga merupakan suatu aktivitas kerja yang perlu dikelola dengan pendekatan ergonomi. Pembelajaran dengan pendekatan ergonomi dapat menyeimbangkan antara tuntutan tugas (beban kerja) dan kapasitas (kemampuan, kebolehan dan keterbatasan) pebelajar sehingga mereka dapat belajar secara efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien serta tercapai prestasi yang setinggi-tingginya.
Kombinasi antara tugas (task), organisasi (organization) dan lingkungan (environment) merupakan kondisi kerja yang harus diterima dalam proses belajar mengajar. Bila kombinasi  antara tugas, organisasi dan lingkungan tersebut belum ergonomis maka dapat menimbulkan gangguan pada diri pebelajar sehingga kondisi belajar menjadi tidak sehat, tidak aman, tidak nyaman dan tidak efektif.  Kapasitas pebelajar dalam menerima tugas dan lingkungan belajar yang tidak ergonomis berbeda-beda tergantung pada kemampuan, kebolehan dan keterbatasan masing-masing. Tubuh akan berusaha melakukan adaptasi terhadap perubahan tersebut. Bila tubuh tidak mampu beradaptasi maka akan menimbulkan gangguan kualitas kesehatan, seperti keluhan muskuloskeletal meningkat, kelelahan meningkat dan  kebosanan meningkat. Penurunan kualitas kesehatan  akan berpengaruh terhadap  luaran proses belajar.
Untuk menganalisis keserasian antara tugas (task), organisasi (organization) dan lingkungan (environment) dalam proses pembelajaran dapat digunakan delapan  aspek ergonomi yaitu status gizi mahasiswa, sikap kerja, penggunaan tenaga otot, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi informasi, kondisi sosial budaya, dan kondisi manusia-mesin. Bila kombinasi antara tugas (task), organisasi (organization) dan lingkungan (environment) dalam proses pembelajaran sudah serasi maka akan membuat seseorang merasa nyaman dalam melakukan aktivitas di ruang belajar tersebut.
B.     Rumusan Masalah
            Bertitik tolak dari latar belakang tersebut di atas, dapat dibuat rumusan masalahnya sebagai berikut.
1.      Mengapa ergonomi diperlukan dalam proses pembelajaran?
2.      Upaya-upaya apa yang dilakukan untuk mengatasi masalah pembelajaran yang tidak ergonomis secara efektif dan efisien?
3.      Apa kendala-kendala yang mungkin akan dihadapi dalam upaya mengatasi masalah ruang belajar yang tidak ergonomis?

C.    Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai pada penulisan ini adalah sebagai berikut.
1.      Untuk mengkaji masalah pembelajaran  ditinjau dari sudut pandang ergonomi.
2.      Untuk mencari alternatif dan solusi yang tepat dalam menanggulangi masalah pembelajaran yang tidak ergonomis secara efektif dan efisien.
3.      Untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin akan dihadapi dalam upaya untuk mengatasi masalah ruang belajar yang tidak ergonomis.
D.    Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan ini adalah sebagai berikut.
1.      Dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi tentang pembelajaran berbasis ergonomis.
2.       Dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam mendesain ruang belajar yang ergonomis.
3.      Dapat dimanfaatkan sebagai sumber bacaan menyangkut tentang syarat-syarat ergonomi yang diterapkan dalam proses pembelajaran.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pembelajaran  Berbasis Ergonomi
Selama ini pembelajaran yang dilaksanakan oleh pengajar belum menerapkan kaidah-kaidah ergonomi. Penggunaan pembelajaran supaya lebih diminati maka harus dikombinasikan dengan prinsip:
1.      PAKEM (partisipasi, aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan)
2.      ENASE (efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien
3.      I2M3 (inspiratif, inovatif, menantang, menyenangkan, dan memotivasi).
Pembelajaran  akan menjadi pembelajaran   PAKEM, ENASE, dan I2M3 (Direktorat Pembinaan TK&SD, 2009),  bila dikaitkan dengan kaidah-kaidah ergonomi.
Ergonomi adalah ilmu, teknologi dan seni untuk menyerasikan alat, cara kerja dan lingkungan pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas yang setinggi-tingginya (Manuaba, 2003d).  Ergonomi sangat diperlukan di dalam suatu kegiatan yang melibatkan manusia di dalamnya dengan memperhitungkan kemampuan dan tuntutan tugas. Dengan ergonomi dapat ditekan dampak negatif pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena dengan ergonomi berbagai penyakit akibat kerja, kecelakaan, pencemaran, keracunan, ketidak-puasan kerja, kesalahan unsur manusia, bisa dihindari atau ditekan sekecil-kecilnya (Manuaba, 2003b).
Agar keluhan otot, kelelahan dan kebosanan dapat diminimalkan maka  tugas (task), organisasi (organization) dan lingkungan  (environment) perlu diserasikan dengan kemampuan, kebolehan dan keterbatasan mahasiswa sehingga terwujud pembelajaran lebih manusiawi. Sehingga  perlu dipertimbangkan delapan  aspek ergonomi sebagai dasar perbaikan model pembelajaran seperti faktor energi atau status gizi, sikap kerja, penggunaan tenaga otot secara maksimal dan efisien, kondisi lingkungan, kondisi waktu, kondisi informasi, kondisi sosial budaya dan interaksi manusia–mesin (Manuaba, 2003b). Analisis terhadap delapan aspek ergonomi diharapkan  kondisi kerja  pada saat pembelajaran dapat diterima oleh mahasiswa.
B.     Kaidah Ergonomi dalam Mendesain Meja dan Kursi Belajar
Agar meja  belajar nyaman dipakai pada waktu belajar, maka ukuran-ukurannya harus disesuaikan dengan antropometrik orang yang akan memakainya.  Bila meja belajar terlalu tinggi maka bahu akan lebih sering terangkat pada saat menulis atau meletakkan tangan di atas meja dan bila terlalu rendah maka sikap tubuh akan membungkuk pada saat menulis. Sikap tubuh yang seperti itu dapat mengakibatkan sakit pada otot-otot pinggang atau punggung dan sakit pada otot-otot leher dan bahu. Secara fisiologis rasa sakit tersebut muncul sebagai akibat dari akumulasi kelelahan yang diakibatkan oleh penumpukan asam laktat pada otot-otot tersebut. Ini bisa terjadi karena pada sikap paksa didominasi oleh kontraksi otot statis dengan respirasi yang bersifat anaerobik. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dipilih meja belajar yang sesuai dengan si pemakainya. Grandjean (2000) menganjurkan agar tinggi meja untuk menulis dan membaca dalam posisi duduk adalah antara 74–78 cm untuk laki-laki dan antara 70–74 cm untuk wanita.  Sedangkan Dul & Weerdmeester (1993) menyatakan bahwa untuk kegiatan yang sering menggunakan mata, tangan dan lengan sebaiknya bidang kerja berada pada     0 – 15 cm di atas tinggi siku.
Agar tempat duduk nyaman dipakai pada waktu belajar, maka ukuran-ukurannya harus disesuaikan dengan antropometri orang yang akan memakainya. Dalam hal ini diperlukan pembakuan terhadap ukuran-ukuran tubuh/ antropometri oprang-orang Indonesia pada umumnya atau orang-orang Bali pada khususnya, sehingga dalam mendesain tempat duduk dapat mengacu kepada ukuran-ukuran tersebut. Seandainya ukuran-ukuran baku tersebut belum ada, dapat dilakukan pengukuran terhadap antropometri siswa atau mahasiswa yang akan menggunakan tempat duduk tersebut. Tetapi jika data antropometri siswa atau pemakai tersebut tidak ada, maka dapat digunakan persyaratan tempat duduk sebagai berikut (Nala, 1994).
1.      Tinggi alas duduk dari lantai 38 – 54 cm (setinggi telapak kaki sampai belakang lutut atau popliteal).
2.      Alas duduk hendaknya agak miring ke belakang (14o – 24o dari bidang horizontal atau dari lantai).
3.      Kemiringan ini diperlukan, agar tubuh tidak melorot ke depan pada saat duduk.
4.      Ujung tepi depan alas duduk dibuat agak bulat untuk untuk menghindari tekanan pada bagian bawah paha. Ujung bagian depan ini dapat ditinggikan 4o – 6o dari alas duduk.
5.      Luas alas duduk sebaiknya  disesuaikan dengan ukuran pantat yaitu:   40 – 45 cm melintang dan 38 – 42 cm membujur.
6.      Sandaran pinggang dan punggung hendaknya agak miring ke belakang dengan sudut 105o – 110o terhadap alas duduk. Bentuk sandaran pinggang dan punggung sebaiknya disesuaikan dengan lengkung vertebrae pada tubuh manusia. Sandaran tersebut akan menopang punggung dan pinggang dengan baik bila ukuran tingginya 48 – 50 cm dari alas duduk dan lebarnya 32 – 36 cm.

C.    Kaidah Ergonomi dalam Penempatan Papan Tulis, Layar OHP atau Layar LCD.
Papan tulis yang digunakan sebagai sarana belajar, kadang-kadang ditempatkan pada tempat yang tidak mengacu kepada kaidah-kaidah ergonomi, sehingga dapat memunculkan gangguan fisiologis berupa rasa sakit atau lelah pada otot-otot mata dan otot-otot leher pebelajar saat membaca tulisan atau pesan yang dibuat di papan tulis tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu diketahui kaidah-kaidah ergonomi yang dapat digunakan sebagai acuan di dalam penempatan papan tulis. Grandjean (2000) menganjurkan agar rotasi mata saat melihat suatu objek, tidak lebih dari 5o di atas bidang horizontal dan 30o di bawah bidang horizontal. Itu berarti penempatan papan tulis hendaknya memperhitungkan pebelajar yang duduk paling depan dan paling belakang, sehingga rotasi mata mereka tetap berada pada rentangan tersebut di atas. Untuk itu tinggi papan tulis harus mengacu kepada tinggi mata siswa atau pebelajar dalam posisi duduk. Persyaratan lainnya adalah:
1.      bahannya tidak mengkilat
2.      warna terang
3.      lebarnya disesuaikan dengan orientasi maksimum mata pada sudut 5o  di atas bidang horizontal dan 30o di bawah bidang horizontal dan jarak antara papan tulis dengan tempat duduk pebelajar di tengah-tengah pada baris paling belakang

D.    Penerangan Ruangan
Kaidah Ergonomi dalam Mendesain Pencahayaan (Lighting)  sangat penting, agar pekerjaan dapat dilakukan dengan benar dan dalam situasi nyaman. Selain itu pada saat melakukan aktivitas dapat melihat objek dengan jelas dan cepat, sehingga tidak melelahkan otot-otot mata. Prinsip pencahayaan yang baik adalah sebagai berikut (Manuaba, 1992).
1.      Jumlah  atau  intensitas pencahayaan yang diperlukan hendaknya disesuaikan dengan jenis pekerjaan, tajam lihat seseorang dan lingkungannya.
2.      Diupayakan agar mendapatkan penampilan penglihatan sebesar 100%.
3.      Di dalam merencanakan pencahayaan, di samping efisiensi penglihatan, faktor keamanan, kenyamanan dan keselamatan perlu diperhitungkan.
4.      Intensitas   pencahayaan  yang  baik  adalah  minimal 200 lux,  atau disesuaikan dengan jenis aktivitas di tempat tersebut.
5.      Pencahayaan harus diutamakan pada pekerjaan pokok, kemudian pada latar belakangnya dan terakhir pada lingkungannya (dinding, atap, lantai dan lain-lain).
Untuk kegiatan belajar (membaca dan menulis) diperlukan intensitas pencahayaan sebesar 350 – 700 lux (Grandjean, 2000).
Intensitas pencahayaan di kelas perlu diperbaiki, tetapi lampu sebagai cahaya buatan hanya boleh dihidupkan jika kondisi ruangan gelap.
E.     Kaidah  ergonomi dalam merancang slide power point dalam pembelajaran
Beberapa kaidah  ergonomi dalam merancang slide power point dalam pembelajaran.  Dalam merancang presentasi dengan menggunakan slide power point, ada beberapa kaidah  estetika dan ergonomis yang perlu diperhatikan di antaranya seperti:
1.      Tata cara pembuatan judul slide power point yaitu sebagai berikut:
a.      judul slide power point ringkas, dan tata letaknya pas
b.      jumlah kata 2-5 dan buat sub judul dibawahnya jika terlalu panjang,
c.       besar huruf 20-28 font ( untuk memilih antara 20-28 font disesuaikan atau tergantung pada jenis hurufnya)
2.      Tata cara pembuatan isi slide power point  yaitu sebagai berikut
a.      Isi slide sederhana, bahan tidak seluruhnya dituangkan dalam slide. Satu halaman presentasi hanya mengandung satu jenis informasi atau idea dan isi slide tidak bermakna ganda, sehingga dapat membingungkan mahasiswa. Pesan disajikan melalui gagasan yang unik dan tidak klise (tidak sering digunakan), agar media pembelajaran yang dibuat tampil segar dan menarik perhatian, serta susunlah materi yang hendak disampaikan secara sistematik (runut), agar alur pesan dapat dicerna secara lancar. Bila menggunakan singkatan, gunakanlah yang popular
b.      Dalam satu baris gunakan 3-5 kata dan jumlah baris kalimat tidak lebih dari 9 baris, maksudnya agar tidak terkesan ruet atau tidak mengakibatkan keengganan mahasiswa untuk membaca tulisan tersebut
c.      Konsisten dalam menggunakan ukuran huruf dalam satu halaman slide, ukuran hurufnya adalah 18-24 font ( untuk memilih antara 18-24 font disesuaikan atau tergantung pada jenis hurufnya)
d.      Konsisten dalam pengaturan warna, bila menggunakan huruf hitam maka warna dasarnya putih dan bila menggunakan huruf putih maka warna dasarnya biru tua. Penggunaan  huruf yang terlalu banyak warna warni  akan dapat menimbulkan kelelahan mata mahasiswa  (Adri, 2008; Hartati, 2009; Pardede, 2008; Said, 2009).

F.     Ergonomi Diperlakukan di dalam Pembelajaran
Ruang belajar yang ergonomis tentunya akan membuat seseorang merasa nyaman di dalam melakukan aktivitasnya di ruang tersebut. Ergonomi sesuai dengan mottonya “sehat, aman, nyaman, selamat, efektif dan efisien” mengupayakan agar ruang belajar betul-betul dalam kondisi yang mengakibatkan orang yang beraktivitas di ruangan tersebut, energinya hanya digunakan untuk belajar bukan untuk mengatasi kondisi ruangan yang tidak nyaman. Dengan demikian berarti ergonomi memang sangat diperlukan di dalam mendesain ruang belajar. Sikap kerja siswa/ mahasiswa pada saat proses pembelajaran hendaknya dalam posisi fisiologis dan tidak menimbulkan sikap paksa (Grandjean, 2000). Sikap alamiah dapat mencegah kontraksi otot dan peregangan tendo berlebihan. Antisipasi terhadap perubahan sikap tubuh pada saat pembelajaran adalah
1.      Ukuran alat kerja dan stasiun kerja disesuaikan dengan antropometri siswa/ mahasiswa, sehingga dapat mengurangi keluhan musculoskeletal
2.      Mencegah otot berkontraksi dalam waktu lama sehingga perlu istirahat aktif,  karena istirahat aktif dapat mempercepat waktu pemulihan (Nala, 2002). 
Sehingga dengan demikian maka dalam mendesain ruang belajar perlu disesuaikan antara antropometri orang yang akan belajar di tempat tersebut dengan meja dan kursi yang akan digunakan. Tinggi meja hendaknya disesuaikan dengan tinggi siku orang yang akan menggunakannya, sedangkan tinggi tempat duduk hendaknya disesuaikan dengan tinggi poplitea-nya. Seandainya banyak orang yang menggunakan meja dan tempat duduk tersebut, maka ukuran antropometri mereka ditetapkan berdasarkan persentil (dalam hal ini digunakan persentil 5). Kedalaman kursi mengacu kepada panjang buttock poplitea pemakai, juga menggunakan persentil 5. Lebar kursi mengacu kepada lebar buttock dengan menggunakan persentil 95. Tinggi sandaran mengacu kepada tinggi bahu yang diukur dari bidang yang diduduki dengan menggunakan persentil 5. Sedangkan lebar sandaran mengacu kepada lebar bahu, dengan menggunakan persentil 95. Dengan mengikuti kaidah-kaidah tersebut diharapkan tidak ada lekuk-lekuk tubuh yang tertekan atau tidak terjadi sikap tubuh yang tidak alamiah. Penempatan papan tulis di ruang kuliah atau ruang belajar di sekolah-sekolah belum mengacu kepada kaidah-kaidah ergonomi, padahal penempatan papan tulis yang tidak tepat dapat mengganggu kesehatan siswa atau mahasiswa yang belajar di tempat tersebut. Dalam hal ini penempatan papan tulis yang salah dapat mengganggu akomodasi mata saat membaca informasi yang tertera di papan tulis tersebut atau sering menimbulkan sikap  tubuh yang tidak alamiah terutama pada leher yang tentunya dapat menimbulkan gangguan otot pada organ tersebut. Terkait dengan masalah tersebut maka dalam mendesain ruang belajar khususnya dalam menempatkan papan tulis hendaknya mengacu kepada tinggi mata siswa/ mahasiswa dalam posisi duduk. Dengan demikian informasi di papan tulis tidak lebih dari 50 di atas horizontal plane dan 300 di bawah horizontal plane. Sikap kerja yang bertentangan dengan sikap alami tubuh, akan menimbulkan kelelahan dan cedera otot-otot. Dalam sikap yang tidak alamiah tersebut akan banyak terjadi gerakan otot yang tidak fisiologis sehingga  boros energi. Hal itu akan menimbulkan strain dan cedera otot-otot skeletal (Adiputra, 2008).
Permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan otot pada  proses pembelajaran masih bersifat statis, karena proses tersebut bersifat teacher centered sehingga pembelajaran didominasi oleh pengajar. Pada proses pembelajaran sebagian besar pengajar masih menggunakan metode ceramah.  Siswa/ mahasiswa duduk statis dalam jangka waktu lama, aktivitas bersifat  monoton dan tidak disertai dengan istirahat aktif.    Setiap otot memanjang atau memendek akan membutuhkan energi,  energi berasal dari simpanan energi dalam tubuh. Simpanan energi tersebut berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi sebelumnya. Manusia bekerja dengan tugas berat akan membutuhkan energi lebih besar dibandingkan dengan bekerja dengan tugas ringan (Adiputra, 2008). Selama kontraksi otot diperlukan tersedianya ATP secara kontinyu. Ketersediaan  energi tergantung pada ketersediaan oksigen dan nutrisi yang dihantarkan oleh sistem sirkulasi.  Kontraksi otot statis (isometrik) dalam waktu relatif lama menyebabkan sirkulasi darah tidak optimal,  sehingga mengurangi asupan oksigen dan zat makanan.  Dengan demikian asupan energi berkurang sehingga mempercepat  timbulnya kelelahan. Disamping itu akumulasi asam laktat merangsang reseptor rasa nyeri sehingga dirasakan sebagai keluhan muskuloskeletal. Dengan demikian kerja otot statis mempercepat timbulnya kelelahan dan keluhan muskuloskeletal (Guyton & Hall, 2000).  Untuk mengantisipasi masalah ini dalam proses pembelajaran maka stasiun kerja dan alat kerja harus disesuaikan dengan antropometri siswa/ mahasiswa. Teknik pembelajaran  diupayakan agar aktivitas siswa/ mahasiswa menjadi lebih dinamis dengan jalan  kontraksi otot statis diubah menjadi dinamis (Sutajaya, 2005).
Aspek lingkungan kerja sangat menentukan prestasi kerja seseorang. Lingkungan yang tidak kondusif di tempat kerja, akan memberikan beban tambahan bagi tubuh,  padahal  tubuh sedang melaksanakan beban utama yaitu aktivitas yang sedang dilaksanakan. Demikian juga lingkungan dingin, kelembaban relatif, penipisan kadar oksigen, adanya zat pencemar dalam udara juga akan mempengaruhi penampilan kerja. Permasalahan mikroklimat di ruang belajar juga sering diabaikan, sehingga siswa atau mahasiswa yang belajar di tempat tersebut akan teraniaya oleh mikroklimat yang tidak adekuat. Konsekuensinya energi yang mereka keluarkan tidak sepenuhnya untuk kegiatan belajar, akan tetapi akan ada energi yang dikeluarkan untuk melawan mikroklimat yang tidak adekuat tersebut. Ventilasi silang sangat diperlukan untuk mengatasi panas di ruang belajar, karena dengan ventilasi silang dapat meningkatkan sirkulasi udara di dalam ruangan. Masalah intensitas pencahayaan juga masih kurang.  Padahal Grandjean (2000) mempersyaratkan 350 – 700 lux untuk kegiatan membaca dan menulis. Kondisi tersebut diprediksi dapat menimbulkan kelelahan mata pebelajar. Disamping itu Adiputra (2008) menyatakan bahwa  penerangan di tempat kerja, adanya kebisingan, lingkungan kimia, biologi dan lingkungan sosial di tempat kerja berpengaruh terhadap prestasi dan produktivitas kerja. Kaidah-kaidah ergonomi yang diterapkan untuk mengatasi mikroklimat di ruang belajar harus diterapkan sejak perencanaan, sehingga biaya yang dikeluarkan untuk hal itu bisa diminimalkan.
Kondisi waktu  perlu diperhatikan agar pada diri siswa/ mahasiswa tidak terjadi kelelahan yang berlebihan, dan perlu penyesuaian antara lama pembelajaran dengan jumlah waktu istirahat.  Permasalahan yang dijumpai terkait dengan kondisi waktu adalah belum diterapkan istirahat aktif,   sehingga mahasiswa duduk dalam jangka waktu lama saat beraktivitas. Padahal Nala (2002) menyarankan agar  pembelajaran dengan pendekatan ergonomi memberlakukan  istirahat aktif, karena istirahat aktif dapat mempercepat  pemulihan terhadap kelelahan.
Permasalahan yang berkaitan dengan kondisi informasi adalah jarang ditemukan adanya papan kerja yang berfungsi sebagai tempat untuk menempel informasi hasil kerja siswa/ mahasiswa. Demikian pula informasi yang disampaikan dalam bentuk media pembelajaran oleh pengajar ke siswa/ mahasiswa belum memenuhi kaidah-kaidah ergonomi, seperti ukuran huruf  dan penempatannya. Penggunaan huruf di papan tulis ukurannya tidak beraturan dan tidak konsisten atau  tidak sesuai dengan rumus huruf yang ergonomis.    Aturan dalam membuat tulisan di plastik transparansi dengan menerapkan kaidah-kaidah ergonomi tampaknya belum banyak diketahui dan diterapkan, sehingga terkadang banyak kita jumpai tulisan-tulisan di plastik transparansi yang mirip tulisan di koran yaitu tulisannya kecil-kecil, jaraknya rapat dan jumlah baris dalam satu plastik transparansi sangat banyak. Demikian pula pada pembuatan  slide power point, belum mengikuti kaidah-kaidah ergonomi. Hal ini akan mengakibatkan keengganan orang untuk membaca informasi yang ada di tulisan tersebut. Untuk itu perlu dikaji lebih jauh tentang hal itu, sehingga informasi yang ingin disampaikan melalui tulisan di plastik transparansi tersebut bisa efektif dan efisien yang tentunya pada akhirnya membuat orang yang menerima informasi tersebut merasa nyaman saat membacanya. Ukuran tulisan dan jumlah baris tulisan dari atas ke bawah dengan jarak yang ergonomis tentu akan membuat orang yang membaca tulisan tersebut akan merasa senang dan ada keinginan untuk membaca. Jika kaidah-kaidah ergonomi tidak diterapkan dalam membuat tulisan tersebut tentunya akan mengakibatkan munculnya kelelahan mata dan kebosanan  (Pardede, 2008).
Permasalahan yang berkaitan dengan kondisi sosial budaya adalah hubungan  antara sesama siswa/ mahasiswa dan hubungan antara siswa/ mahasiswa dengan  pengajar pada saat pembelajaran  belum harmonis. Hal ini disebabkan karena  pembelajaran didominasi oleh guru/ dosen dengan menggunakan metode ceramah.  Dalam rangka untuk membina dan meningkatkan motivasi kerja siswa/ mahasiswa dalam melaksanakan tugas-tugasnya,  ternyata kondisi sosial seperti  pemberian  penghargaan bagi yang berhasil dan  hukuman  bagi yang salah belum dilakukan oleh pengajar, karena orientasinya hanya hasil pembelajaran. Kondisi sosial  seharusnya banyak dimanfaatkan oleh pimpinan tempat kerja untuk membina dan membangkitkan motivasi kerja, seperti sistem penghargaan bagi yang berhasil dan hukuman bagi yang salah dan lalai bekerja (Adiputra, 2008). Kondisi sosial menyangkut hubungan siswa/ mahasiswa dengan orang lain baik dengan pengajar dan orang tuanya maupun dengan temannya dapat mempengaruhi konsentrasi dan kegiatan belajarnya.
G.    Upaya-upaya yang Efektif dan Efisien untuk Mengatasi Masalah Pembelajaran  yang Tidak Ergonomis
            Banyak upaya yang telah dilakukan dalam perbaikan pembelajaran, termasuk  membuat ruang belajar yang nyaman, namun langkah yang efektif dan efisien belum banyak yang diketahui, sehingga dalam mengupayakan ruang belajar yang nyaman diperlukan banyak biaya yang dapat bertindak sebagai penghambat dalam merealisasikan keinginan tersebut. Terkait dengan hal tersebut, dalam hal ini dikemukakan beberapa alternatif langkah-langkah yang efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan kenyamanan belajar di ruang belajar yaitu :
1.      Kaidah-kaidah ergonomi dalam pembelajaran khususnya dalam rangka pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran hendaknya sudah diterapkan sejak perencanaan, sehingga pengeluaran biaya yang tidak perlu bisa diminimalkan.
2.      Diupayakan agar penerapan ergonomi dilakukan secara preventif (bersifat pencegahan) dan penerapan ergonomi secara curatif (bersifat pengobatan atau perbaikan) hendaknya dijadikan sebagai alternatif kedua, seandainya alternatif pertama sama sekali tidak dapat dilakukan.
3.      Penerapan ergonomi akan lebih berhasil jika melalui pendekatan “SHIP” (Sistemik, Holistik, Interdisipliner dan Partisipatori )
4.      Kaidah-kaidah ergonomi pada awalnya diterapkan pada bagian yang mudah dikerjakan dan biayanya murah, karena ini akan merangsang perbaikan-perbaikan berikutnya, seandainya sudah dirasakan manfaatnya.
5.      Penerapan ergonomi dalam mendesain ruang belajar yang ergonomis hendaknya didasari oleh sikap optimis, bahwa perbaikan itu memang dapat meningkatkan produktivitas belajar. Dalam hal ini kemampuan, kemauan dan keberanian untuk berubah sangat dituntut, sehingga sikap sulit berubah bisa dikikis perlahan-lahan tapi pasti, dengan melihat keberhasilan yang dapat diwujudkan melalui penerapan kaidah-kaidah ergonomi.
6.      Sikap apriori bahwa ergonomi sifatnya mahal dan sulit diterapkan hendaknya dihilangkan sama sekali, karena hal ini akan mengakibatkan motivasi, inovasi dan eksplorasi seseorang terkait dengan upaya meningkatkan kenyamanan ruang belajar melalui penerapan kaidah-kaidah ergonomi bisa terhambat.
7.      Pengajar hendaknya menerapkan proses pembelajaran inovatif berbasis ergonomi, yaitu teknik pembelajaran  diupayakan agar aktivitas siswa/ mahasiswa menjadi lebih dinamis dengan jalan  kontraksi otot statis diubah menjadi dinamis.
Dengan memperhatikan ketujuh langkah-langkah di atas, berarti ergonomi dalam penerapannya, hendaknya didukung oleh semua pihak dan dikaji secara interdisipliner, sehingga diperoleh hasil yang optimal atau maksimal.
H.    Kendala-kendala yang Dihadapi dalam Upaya Mengatasi Masalah Ruang Belajar  yang Tidak Ergonomis
Setiap upaya pasti ada kendalanya dan kendala itu hendaknya jangan dihindari tapi harus diatasi atau dihadapi, betapapun sulit dan rumitnya, karena hal ini akan membawa dampak bagi kesiapan seseorang dalam mengatasi berbagai macam kendala terkait dengan masalah yang dihadapi. Kendala-kendala yang mungkin akan dihadapi dalam penerapam kaidah-kaidah ergonomi dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.
1.      Para desainer ruangan belum banyak yang tahu tentang kaidah-kaidah ergonomi, sehingga dalam penerapannya tidak optimal atau dalam mendesain ruangan lebih ditekankan pada unsur estetis dan ekonomis.
2.      Belum disadarinya tentang dampak negatif suatu ruang belajar yang tidak nyaman terhadap produktivitas belajar siswa/ mahasiswa yang belajar di dalamnya.
3.      Masih banyak orang yang beranggapan bahwa ergonomi itu mahal dan sulit diterapkan.
4.      Orang baru menyadari bahwa ergonomi itu penting, ketika mereka sudah terkena akibat yang ditimbulkan oleh kondisi kerja yang tidak ergonomis, karena pada dasarnya sikap manusia cenderung reaktif bukan proaktif.
5.      Penerapan ergonomi sering gagal, karena belum semua orang menyadari bahwa ergonomi itu penting dan harus diterapkan.
6.      Akibat yang ditimbulkan oleh kondisi kerja yang tidak ergonomis tidak seketika terjadi dan lebih sering bersifat akumulatif, sehingga upaya perbaikan tidak seketika dapat dilihat atau dinikmati hasilnya.
Dengan mengkaji kendala-kendala tersebut di atas hendaknya kita tidak menyerah dan menerima apa adanya atau membiarkan anak didik kita selalu dalam kondisi ruang belajar yang tidak ergonomis, akan tetapi perlu diupayakan untuk mengatasi kendala-kendala tersebut dengan satu tekad bahwa ergonomi memang mutlak perlu untuk diterapkan. Sikap yang demikian tentu akan menggugah keinginan kita untuk segera berpikir dan bertindak dalam mengatasi ruang belajar yang belum menerapkan kaidah-kaidah ergonomi. Dalam hal ini perbaikan yang paling sederhana atau paling mudah dan paling murah biayanya kita gunakan sebagai langkah awal di dalam bertindak dan setelah dilihat dan dinikmati hasilnya baru dilanjutkan dengan perbaikan-perbaikan yang lebih kompleks. Misalnya kalau kita sudah tahu bahwa penempatan papan tulis terlalu tinggi atau terlalu rendah karena penempatannya tidak mengacu kepada tinggi mata siswa/mahasiswa yang belajar di ruangan tersebut, dapat kita perbaiki hanya dengan memindahkan paku penggantung papan tulis tersebut. Kalau mikroklimat di ruang belajar tidak adekuat, karena tidak ada ventilasi silang sehingga ruangan menjadi panas dan sirkulasi udara tidak lancar, maka hanya dengan menjebol sesuai keperluan, sehingga memungkinkan terjadinya ventilasi silang tampaknya merupakan suatu pekerjaan yang tidak terlampau sulit dan biayanya juga tidak terlampau mahal jika dibandingkan dengan nilai kesehatan dan kenyamanan siswa/mahasiswa yang belajar di ruangan tersebut.
Dengan melihat kedua contoh perbaikan yang murah dan mudah dikerjakan tersebut, hendaknya kita semua mulai berpikir bahwa sebenarnya penerapan ergonomi bukan sesuatu yang mahal dan sulit dikerjakan. Asal kita mau, mampu dan berani berbuat tampaknya semua itu bukan suatu yang mustahil untuk dikerjakan.











BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Dari hasil kajian tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.
1.      Penerapan ergonomi mutlak diperlukan pada proses pembelajaran, sehingga diperoleh kondisi pembelajaran yang sehat, aman, nyaman, efisien dan efektif yang pada akhirnya diperoleh produktivitas belajar yang setinggi-tingginya.
2.      Ruang belajar yang ergonomis dapat menambah kenyamanan belajar, sehingga energi yang dikeluarkan dapat sepenuhnya dimanfaatkan untuk kegiatan belajar dan bukan untuk mengatasi kondisi ruang belajar yang tidak ergonomis.
3.      Ada beberapa kendala yang tampaknya agak sulit untuk diatasi di dalam mendesain ruang belajar yang ergonomis, karena menyangkut masalah dana dan perilaku atau keinginan untuk berubah.

B.      Saran
Saran yang nampaknya penting untuk disampaikan pada kesempatan ini adalah  sebagai berikut.
1.      Dalam mendesain atau meredesain ruang belajar, disarankan untuk selalu menerapkan kaidah-kaidah ergonomi.
2.      Kaidah-kaidah ergonomi harus diterapkan sejak dini, sehingga tidak memerlukan biaya yang besar atau tidak ada biaya yang terbuang percuma.
3.      Karena melihat begitu besarnya manfaat yang diperoleh dari desain ruang belajar yang ergonomis, maka kendala apapun yang dihadapi dan betapapun sulitnya, hendaknya diatasi secara efektif dan efisien demi tercapainya produktivitas belajar setinggi-tingginya.

DAFTAR PUSTAKA
Adiputra, N.2008. Upaya Kesehatan Kerja Tenaga Kesehatan Kabupaten/ Kota dan Puskesmas Propinsi Bali. [cited 2010 November 14] Available from:    http://www.balihesg.org – balihesg
Admin. 2009. Konstruktivisme dalam Pembelajaran Sain dan Matematika [cited 2010 Januari 4] Available from: http://lpmpjogja.diknas.go.id/index2.php? option= com_content&do_pdf=1&id=328
Adri, M. 2008. Implementasi Power Point Dalam Pembelajaran. [cited 2010 Februari 10] Available from: http://openpdf.com/ebook/model-pengajaran-berbasis-ergonomi-pdf.html
Arends, R.I. 2007. Belajar untuk Mengajar. Edisi Ketujuh.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Direktorat Pembinaan TK&SD. 2009. Mengenal Metode Pembelajaran Pakem. [cited 2010 Februari 10] Available from: http://sekolahku.info/artikel/mengenal-metode-pembelajaran-pakem/
Dul, J., Weerdmeester, B.  1993. Ergonomic for Beginners A Quick Reference Guide. London: Taylor & Francis.
Dzaki, M. F. 2009. Pendekatan Sains Teknologi Society (STS). [cited 2009 Desember 2 ] Available from: http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/ 2009 /03/pendekatan-sains-teknologi-society-sts.html.
Grandjean, E., Kroemer, K.H.E.  2000. Fitting the Task to the Human. A Textbook of Occupational Ergonomics. Fifth  Edition. Piladelphie: Taylor & Francis.
Guyton,A.C dan J.E. Hall. 2000.  Fisiologi Kedokteran. Irawati Setiawan (ed).  Edisi 10.  Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. 101-112.
Hartati, T. 2009. Beberapa Kaidah Dalam Merancang Slide Yang Efektif. [cited 2010 Februari 11] Available from: http://titahartati.blogspot.com/2009/07/ms-powerpoint-2003.html
Helander, M.G & Lo Shuan. 2005. Reducing Design Complexxity Will Improve Usability in Product Design. In Proceeding of Seaes IPS Conference, 23 – 25 May. Bali. Indonesia. p. 6-10.
Madiya, IW., Sanjaya, IP.H., dan Subudi, IK. 2010. Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM) Dan Implementasinya Dalam         Pembelajaran Sains. [cited 2011 Januari 16] Available from: file:///C:/Documents%20and%20Settings/pak%20oka/My%20Documents/ model-pembelajaran-sains-teknologi.html
Manuaba, A. 1992. Pencahayaan (lighting). Denpasar: Lab. Faal FK UNUD.
Manuaba, A. 1998. Penerapan Ergonomi Kesehatan Kerja di Rumah Tangga (Bunga Rampai Vol. II) Denpasar: Program Studi Ergonomi-Fisiologi Kerja Universitas Udayana
Manuaba, A. 2003 a. Total Ergonomic Approach to Enhance and Harmonize The Development of Agriculture, Tourism and Small Scale Industry, with Special Reference to Bali. Dalam: Purwanto, W., Sugema, L.l., dan Ushada, M. editors. Prosiding Seminar Nasional Ergonomi. Yogyakarta: Perhimpunan Ergonomi Indonesia dan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. p.16 – 21.
Manuaba, A. 2003 b. Optimalisasi Aplikasi Ergonomi dan Fisiologi Olahraga dalam Rangka Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja dan Prestasi Atlet. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Ergonomi dan Olahraga di Universitas Negeri Semarang, 12 April 2003.
Manuaba,A. 2003c. Holistic disign is a must to attain sustainable product. The National Seminar on Product Design and Development Industrial Engineering UK Maranatha. Bandung, 4-5 Juli 2003.
Manuaba, A. 2003d. Optimalisasi Aplikasi Ergonomi dan Fisiologi Olahraga dalam Rangka Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja dan Prestasi Atlet. Makalah. Disampaikan pada Seminar Nasional Ergonomi dan Olahraga di Universitas Negeri Semarang, 12 April 2003.
Manuaba, A. 2004 a. Membangun Desa Tanaman Hias Petiga melalui Tiga Sektor Potensial Ekonomi Bali Secara Harmoni dalam Rangka Pembangunan Bali Berlanjut. Makalah. Denpasar: Bali-HESG, Bagian Fisiologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.
Manuaba, A. 2004 b. Kontribusi Ergonomi dalam Pembangunan, dengan Acuan Khusus Bali. Dalam: Purwanto, W., Mulyati, G.T., dan Saroyo, P. Yogyakarta: Perhimpunan Ergonomi Indonesia dan Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. p 160 – 165.
Nala, N. 1994. Penerapan Teknologi Tepat Guna di Pedesaan. Denpasar: Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Udayana.
Nala, N.2002.Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga. Denpasar: Komite Olahraga Nasional Indonesia Daerah Bali. hal. 57.
Nurohman, S. 2008.  Penerapan Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat (STM) dalam Pembelajaran IPA Sebagai Upaya Peningkatan Life Skills Peserta Didik. [cited 2009 Desember 2] Available from: http://shobruwordpress. compublikasi/ sains-teknologi-masyarakaT/.
Woodson, W.E, Tillman, B. & Tillman, P. 1992. Human Factors Design Handbook. New York : McGraw Hill.